A. SEJARAH KEMUNCULAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Strategi pembinaan karakter dapat didukung dengan 3 pilar yaitu orang tua, sekolah, dan lingkungan. Budaya paternalistik mampu menjadi acuan dimana orang yang lebih tua disegani oleh anak-anak. Sehingga melalui peran orang tua dan bobot wibawa guru yang kuat pendidikan karakter dapat ditanamkan.
Ada dua macam paradigma dalam pendidikan karakter. Yang pertama memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Yang kedua melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings).
Integrasi atas kedua paradigma inilah yang melahirkan gagasan baru tentang pendidikan karakter sebagai pedagogi yang menyertakan tiga matra pertumbuhan manusia.
Dengan membelajarkan karakter pada tiap pribadi siswa, diharapkan pendidikan karakter mampu mengenalkan pada siswa mengenai karakter yang baik dan buruk; membekali mereka supaya dapat memilih karakter yang sesuai, bersikap dan bertindak dengan tepat; serta membentengi siswa sehingga mereka dapat mempertahankan karakter positif yang dimiliki di tengah globalisasi sekarang ini.
B. PEMAHAMAN MENGENAI PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter terdiri dari 2 kata, yaitu pendidikan dan karakter. Pemahaman mengenai pendidikan karakter dapat diperoleh hanya jika kita mampu memahami 2 kata tersebut.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sindiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “… agar manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang sedang bertumbuh. Dalam kegiatan mendidik ini, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan selaras dengan cita-cita pembangunan nasional, yatu mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan di sini tidak hanya ditinjau dari segi kognitifnya saja. Pendidikan harus melibatkan seluruh ranah, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Manusia sejatinya selalu berusaha menaklukkan keterbatasan dirinya melalui pendidikan. Dengan tindakannya mendidik, manusia mewariskan kepada generasi berikutnya nilai-nilai budaya yang berharga bagi perkembangan dan pertumbuhannya sebagai individu dan anggota masyarakat.
Pendidikan tidak dapat dipandang sebelah mata. Generasi muda merupakan generasi harapan bangsa. Melalui pendidikanlah, generasi muda ini dibentuk dan ditempa menjadi manusia yang berkompeten. Bahkan, pendidikan dapat dikatakan sebagai tonggak keberhasilan suatu bangsa.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia. Di sanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Menurut Doni Koesoema, karakter lebih bersifat subjektif karena berkaitan dengan struktur antropologis manusia dalam memaknai kebebasan sehingga ia mengukuhkan keunikannya berhadapan dengan orang lain.
Karakter seringkali dikenal sebagai sifat, watak atau tabiat dari seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Karakter ini melekat dalam diri orang tersebut dan tidak dapat dipisahkan barang sedetikpun. Orang dapat dikenal dari karakter yang dimilikinya. Karakter dapat mencerminkan kepribadian seseorang secara utuh.
KARAKTER adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karena itu, karakter menjadi prasyarat dasar dan integral. Karakter itu akan membentuk motivasi, pada saat yang sama karakter dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karena itu, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi.
Itu sebabnya orang mendefinisikan karakter sebagai ”siapa Anda dalam kegelapan”( character is what you are in the dark). Jika pembentukan karakter yang sehat dan benar itu membutuhkan suatu proses, pantaslah kita bertanya bagaimana caranya?
Secara singkat, pendidikan karakter bisa diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia.
C. PENDIDIKAN KARAKTER, PERLUKAH DITERAPKAN ???
Memang kadang-kadang menjadi lucu dan mengherankan ketika penegak hukum yang mestinya harus menegakkan hukum ternyata harus dihukum. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik. Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu adalah sebagian dari fenomena sirkus itu. Itu semua bersumber pada karakter.
"Setiap negara memiliki karakter kebangsaan yang khas dan harus ditanamkan kepada warganya, termasuk Indonesia yang memiliki karakter kejujuran, toleransi, dan budi pekerti luhur. Dan pendidikan karakter itu harus ditanamkan sejak dini dalam pendidikan formal, mulai tingkat TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Tidak perlu mengatur kurikulum khusus, cukup diintegrasikan dalam pelajaran di sekolah," ungkap Prof. Yahya Muhaimin.
Sekolah sebagai institusi formal yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari peserta didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti yang dinyatakan Horace Mann (1837). Beliau telah mempunyai pandangan bahwa sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Dengan demikian menurut Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Menurut William Bennett (1991) sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak, terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak Amerika menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa kelak.
Di Indonesia, dimana agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih belum berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya.
Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter, jika berhasil, dapat meningkatkan performa sekolah dan performa sekolah bisa meningkat jika ada pola kepemimpinan yang berjiwa pendidikan karakter di sekolah. Sebagaimana setiap pembahasan konseptual tentang sebuah ide,pembahasan yang tersaji dalam buku ini merupakan cercahan ide yang terbuka bagi pendalaman dan pemahaman lebih lanjut.
Apa yang kurang dalam pembahasan, antara lain, tantangan pendidikan karakter dalam mempersiapkan setiap individu menjadi warga negara sebuah masyarakat global, juga program praktis pendidikan karakter di sekolah tidak dibahas secara lebih detail karena pemikiran dan pembuatan program pendidikan karakter di sekolah menurut penulis membutuhkan pemahaman mendalam tentang latar belakang historis sekolah, visi dan misi, kultur yang melingkupi, sumber daya manusiawi yang dipunyai serta kelengkapan sarana-sarana komunikasi sebagaimana dapat diakses secara berbeda oleh tiap sekolah.
Untuk itu, masih banyak tugas yang mesti dilakukan oleh sekolah,para pendidik,dan masyarakat pada umumnya yang berminat dan memberikan perhatian besar pada perkembangan pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar